Minggu, 05 Maret 2017

Gawat Nih, DPR Geram Cabe dari RRC Beredar di Pasar Tradisional, Kok Bisa Ya?

– Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron geregetan melihat beredarnya cabe impor dari China dan India di sejumlah pasar tradisional. Sebab, cabe impor tersebut jelas tidak menyelesaikan tingginya harga. Masuknya cabe tersebut justru bisa membahayakan masyarakat.
‎Herman setuju pemerintah perlu bertindak cepat untuk mengatasi harga cabe yang sudah melambung tinggi sejak pergantian tahun lalu. Namun, langkah cepat itu bukan berarti boleh impor dari China. Sebab, cabe China tidak terjamin keamanannya.

“Benih cabenya saja mengandung bakteri, sekarang cabenya masuk ke sejumlah pasar. Kalau cara kerjanya seperti ini, bagaimana sistem keamanan pangan kita?” keluh Herman, kemarin.

Benih cabe berbakteri yang dimaksud Herman merujuk pada temuan Ditjen Imigrasi dan Kepolisian atas aksi warga negara China yang diam-diam menanam cabe di kawasan Bogor, tahun lalu. Setelah diteliti, cabe yang mereka tanam ternyata mengandung bakteri berbahaya yang bisa merusak tumbuhan di sekitar. Untuk mencegah peredaran bakteri, pihak Imigrasi dan Kepolisian kemudian memusnahkan batang-batang cabe tersebut.

Impor cabe dari China, kata Herman, bisa menimbulkan masalah baru. Jika cabe China itu membawa bakteri, akan merugikan terhadap kesehatan masyarakat dan juga biota alam Indonesia.

Impor tersebut, lanjutnya, juga tidak akan menyelesaikan tingginya harga cabe selama tiga bulan terakhir. ‎Impor itu hanya memadamkan fluktuasi harga dalam waktu singkat, namun berdampak besar pada sektor pangan dan merugikan para petani.

“Tradisi di Indonesia, saat harga naik para petani berbondong-bondong menanam komoditas itu. Sebentar lagi mereka panen (cabe), tapi pemerintah justru membuka keran impor. Cabe yang mereka tanam mau dijual ke mana?” ujar dia.‎

Karenanya, politisi Demokrat ini meminta pemerintah menghentikan impor tersebut. Pemerintah lebih baik fokus dalam memberantas kartel atau mafia yang telah memainkan harga cabe. Pemerintah juga perlu membereskan tata niaga agar rantai distribusi tidak terlalu panjang.

Penghentian impor itu perlu dilakukan segera sebelum petani panen. Jangan sampai petani yang sudah bergairah menanam cabe harus terpukul gara-gara harganya anjlok akibat membanjirnya cabe impor asal China.

“Kalau petani rugi lantaran harga cabe turun drastis saat panen, mereka beralih ke sektor lain. Ini jadi masalah baru,” cetus Herman.

Untuk antisipasi jangka panjang, kata Herman, pemerintah harus membuat peta pertanian yang sistematis dan terukur. Sebaran komoditas pertanian di berbagai daerah harus terencana secara baik, sehingga pasokan dan permintaan di tiap daerah selalu seimbang. ‎

“Kita harus berhenti menanam secara sporadis. Saat harga naik, petani tak boleh berbondong-bondong menanam komoditas tertentu. Komoditas harus dibagi berdasarkan potensi alam dan kemampuan para petani,” terang Herman.

Jika peta komoditas pertanian dirancang secara sitematis dan terukur, Herman yakin Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. “Dengan anugerah yang Allah berikan di tanah Indonesia, harusnya kita menjadi pemasok pangan dunia. Apalagi, rakyat kita susah sangat terlatih, bahkan memiliki budaya bertani,” tandasnya.

Sebelumnya, cabe kering impor dari India dan China beredar di sejumlah pasar tradisional di Jawa Timur. Cabe itu ditemukan di Surabaya, Blitar, Tulungagung, dan Sidoarjo. Pasokannya cukup banyak. Di Tulungagung misalnya, bisa mencapai 4-5 ton per pekan.  Sejumlah pedagang cabe mengaku permintaan cabe kering impor memang tidak banyak. Hanya kalangan tertentu, seperti pedagang makanan dan penjual bakso yang membeli cabe jenis ini. Kalangan rumah tangga enggan membelinya lantaran meragukan aspek keamanan. (eramuslim)




Baca Artikel Terkait: